Desa, Otonom atau Administratif

Lanjut atau Stop Dana Desa

0

Oleh : Ridwan L

DESA merupakan wilayah otonomi terkecil di Nusantara, desa menyimpan sejarah sendiri dalam perkembangan dari fase ke fase perkembangan pemerintahan.

Sejak wilayah Nusantara masih berupa kerajaan-kerajaan, desa sudah ada sejak itu (dengan penamaan lokal kedaerahan), sehingga bisa dikatakan bahwa desa merupakan warisan sejarah dan budaya tertua dalam hal teritori.

Pada masa orde baru (Orba) penyelenggaraan pemerintahan desa diatur dalam undang-undang nomor 5 tahun 1979 yang meliputi tentang pengaturan desa secara pemerintahan, otonomi dan administratif.

Pasca reformasi, penyelenggaraan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan desa telah beberapa kali mengalami perubahan regulasi.

UU 6 tahun 2014 tentang Desa lebih dikenal dengan UU Desa. Dalam UU Desa disebutkan bahwa desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk

Di era pemerintahan Jokowi, lewat regulasi, desa mendapatkan kucuran Dana Desa (DD) berbanderol miliyaran.

Dana Desa membawa angin segar bagi desa-desa se Indonesia dalam mengelola segala urusan rumah tangga desa.

Seyogyanya bahwa Dana Desa menjadi stimulan bagi desa untuk selanjutnya menjadi mandiri dalam penyelenggaraannya, kucuran Dana Desa milyaran, kiranya menjadi alasan bagi desa untuk mandiri, jika dibandingkan dengan anggaran desa di masa lalu yang hanya diatur lewat Inpres.

Kini, Desa bagaikan kehilangan otonomi, desa hanyalah jadi satuan pengelola administrasi dan keuangan sembari menunggu kucuran. Tak pelak hal inipun menimbulkan masalah hukum, terbukti dengan beberapa pemberitaan media tentang tertangkapnya para Kades yang terlibat korupsi.

Lewat tulisan ini, kiranya bisa ditawarkan ada dua opsi sehubungan dengan Dana Desa dan penyelenggaraan desa ini.

Pertama,
Kembalikan Desa sebagai satuan otonomi terkecil, hapuskan dana desa, maka BPD bersama Pemerintah Desa menggali sendiri potensi keuangan desa.

Kedua,
Dana Desa tetap dikucurkan (bahkan bisa ditambah jumlah anggaran) namun konsekwensinya yaitu hilangkan otonomi desa, dan selanjutnya desa dijadikan sebagai wilayah administratif, Kepala Desa diangkat oleh Kepala Daerah dari Aparatur Sipil Negara (ASN) daerah.

Jika opsi pertama ini diterapkan, maka desa akan menjadi lebih mandiri dalam mengelola rumah tangganya sendiri, sudah saatnya desa untuk mandiri, karena kucuran dana desa telah cukup menjadi stimulan (perangsang), karena tak mungkin desa yang otonom harus terus-terusan bergantung sepenuhnya dari kucuran APBN.

Di sisi lain, maka akan ada penghematan anggaran negara.

Jika opsi kedua diterapkan, Dana Desa tetap dikucurkan (bahkan bisa ditambah), maka desa akan menjadi wilayah administratif seperti halnya penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.

Keuntungannya, desa tetap mendapat kucuran dana dari pusat, namun kepala desa (atau sebutan lokal lain) tidak dipilih, namun diangkat oleh Kepala Daerah dari ASN Daerah.

Pada opsi kedua tak ada lagi pemilihan kepala desa, sehingga masyarakat desa tak lagi harus terlibat pesta politik suksesi level desa, tak ada lagi pertarungan memperebutkan orang nomor satu di desa, masyarakat terhindar dari konflik horisontal secara politk.

Sistem pengelolaan keuangan desa lebih dikelola secara profesional dalam satu sistem yang terpadu.

Silahkan dipilih opsinya, selamat berdesa.

(*Penulis adalah Wartawan Muda pada media Detik Sulawesi)

Leave A Reply

Your email address will not be published.