Susatra Bulangita

Bagian ke Tiga

 

DETIKSULAWESI.COM, BOLMUT — Beberapa waktu lalu Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara mengadakan penelitian di bidang Sastra ke Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut).

Dalam penelitian itu mereka melibatkan dua orang peneliti dengan mengambel sampel di wilayah Bolangitang, tak tanggung-tanggung, dua peneliti ini yang satunya ahli sastra dan yang satunya lagi ahli bahasa.

Dalam kegiatan ini, saya kebetulan diajak untuk mendampingi mereka pada kegiatan penelusuran dan penelitian sastra ini.

Dari berbagai sumber dan literatur, yang walaupun sedikit sekali ditemukan literatur pustaka tentang keberadaan tradisi bersastra masyarakat zaman dahulu, karena memang tradisi bersastra kala itu tak dibarengi dengan tradisi aksara lokal khusus, seperti di Jawa misalnya.

Dari penggalian informasi, ditemukan bahwa di wilayah Bolangitang, terdapat tradisi bersastra dalam masyarakat (walaupun mereka belum menamakan ini sebagai sastra).

Saya berdiskusi lama dengan para peneliti ini, dan mereka coba membuat semacam kerangka tengang sastra Bulangita ini.

Dengan didasarkan pada sastra Indonesia pada umumnya bahwa karya sastra itu terdiri dari Pantun, Puisi, Syair, Prosa, Roman, Legenda, Cerita Rakyat, Mitos, dan sebagainya, maka untuk sementara dapat diklasifikasi jenis tradisi sastra masyarakat ini dalam berbagai jenis diantaranya yaitu.

1. Syair Duka Lara (Lelesa)
2. Sumpah (Syair udiudi)
3. Pantun (Legeru)
4. Syair Mantra (Buniso)
5. Legenda (Singgoboli)
6. Dongeng (Sosukito)
7. Teka teki (Tangge)

Ini masih klasifikasi sementara yang dibuat berdasarkan penelitian, bisa saja bertambah atau mengerucut, sesuai dengan informasi-informasi selanjutnya dari masyarakat, atau bisa saja kritikan.

Satu hal yang membuat kagum para peneliti ini, ternyata jenis-jenis sastra ini memiliki nama asli sesuai dengan fonetik lokal.

1. SYAIR DUKA LARA (LELESA )

Syair duka lara ketika kemangkatan Raja dan Pembesar kerajaan (Bobato). Berbeda dengan pantun Legeru, Lelesa tak dibatasi oleh jumlah baris dalam sebait.
Hanya saja, legeru memiliki pola dengan vokal yang sama pada huruf diakhir baris.

Perihal lelesa ini, dapat kita jumpai secara literatur tertulis pada tulisannya Prof.DR.Hi. H.T. Usup (alm) tentang Sejarah Kaidipang Besar, bahwa pada saat kemangkatan Dotinggulo (Dotu Mokapog) masyarakat berkabung, duka lara mereka cetuskan dalam bentuk syair lelesa :

Anukoru pominggaso
No lai kinumulomo
Ki Doti duno malongo
Ko vuluru Moilomo

Lipu duno hohongo
Nongga ki Lei ki Duongo

Ki Doti duno goli
Nongga tulali gu olioli
Agu tabogu samoli
Po nalingo kei Donoli

======

2. SYAIR SUMPAH (UDIUDI)
Udiudi merupakan sumpah yang diucapkan pada momen atau peristiwa tertentu untuk menguatkan secara spiritual.

Udiudi memiliki konsekwensi tertentu jika dilanggar.

Pada saat penobatan para Raja, akan disertai dengan udiudi, seperti :

Kiiko Kumundtalo
Moinggagu kania lalo
Mosopito movunggalo
Siapa yang mangkir
Kering bagaikan kayu mati
Patah dan roboh

==========

3. PANTUN (LEGERU)

Pantun yang lahir dari masyarakat umum, sifatnya kondisional, Legeru terdiri dari empat baris dengan pola tertentu pada huruf vokal di akhir baris

Tradisi berpantun masih dapat dijumpai hingga saat ini, biasanya pantun diiringi dengan petikan alat musik gambus dan tabuhan marwas.

Kita dapat menyaksikan ada para ahli-ahli pantun di beberapa desa di Bolangitang yang sering tampil pada acara-acara tertentu.

Contoh pantun yang sering terdengar :
Kaapia mohigu
Pokopia dodigu
Kudu higu higu
Dikaaru mai kuhigu

Agar supaya kuat
Perbaiki tingkah laku
Yang sudah kuat
Jangan dirubah-rubah

Ini hanya sedikit contoh saja, pantun mengandung filosofi moral dan nasihat. Walau terkadang juga mengandung kata-kata jenaka.

==========
4. SYAIR MANTRA (BUNISO)

Buniso merupakan mantra pengobatan dalam bentuk syair.
Saya tak bisa memaparkan contoh di sini, karena masih dalam proses penelitian lebih lanjut dan masih minim literasi.😊

==========

5. LEGENDA (Singgoboli)
Cerita asal usul kejadian (legenda)

Asal mula penamaan beberapa tempat dan wilayah, hampir setiap tempat ada sejarah penamaannya, inipun masih dalam proses penelusuran.
==========

6. DONGENG (SOSUKITO)

Ada tradisi tua dalam masyarakat Bolangitang yang disebut Sosukito (kata dasar, dongeng) dan Mososukito (kata kerja, mendongeng).
Sosukito merupakan tradisi para orang tua mendongeng kepada anaknya menjelang tidur malam.

Walau terkesan alur ceritanya mistik dan tak masuk akal, namun dongeng Sosukito mengandung pesan-pesan moral kepada anak-anak.

Sayapun menelusuri hal ini, dan sudah sangat langka di masyarakat, namun saya berhasil menggali hal ini, ada beberapa dongeng yang saya dapatkan seperti

– Siritai Tambahauta
– Siritai Mangandtau
– Siritai Sapudaka
– Siritai Supa Handta
-Siritai Kula gu ki Ponu

Dan masih banyak lagi, saya sementara menuliskan cerita-cerita dongeng ini.

==========

7. TEKA TEKI (TANGGE)

Tangge merupakan tradisi berteka-teki (motangge) masyarakat Bolangitang dikala senggang, terutama pada saat ada kedukaan.
Duduk berkumpul sambil bergiliran memberi soal teka-teki.
Materi teka teki dengan kandungan filosofis tentang kehidupan manusia.

Contoh :
* Moisikopa solasolana, no dukalai nogilolau
(Masih kecil pake celana, sudah besar telanjang)
Jawabannya adalah : Bambu
==========

Saya “memberanikan” diri untuk menuliskan hal ini walau terdapat kekurangan di sana sini, karena sulitnya mencari informasi pada beberapa jenis yang kiranya bisa masuk sebagai jenis sastra.

Dan untuk sebuah kesempurnaan, kritik dan saran sangat dibutuhkan.

Bersambung.

(ridwan)

 

Comments (0)
Add Comment