“Monunjulo Lambu”, Sebuah Kebimbangan Tradisi

DETIKSULAWESI.COM,BOLMUT – Pada malam ke-27 Bulan Ramadhan, ada sebuah tradisi yang lagi trend di Masyarakat Bolmong Utara, yaitu memasang lampu minyak di halaman depan rumah penduduk.

Entah siapa yang memulai tradisi ini, tapi yang jelas hari ini kita lihat ketika malam ke-27 Ramadan, penduduk secara sukarela memasangnya.

Kita tidak sedang membicarakan tradisi “Tumbilo tohe” di daerah tetangga kita Gorontalo, karena Tumbilo Tohe adalah budaya dan tradisi yang telah mengakar kuat pada mereka. Bahkan telah menjadi bagian dari peradatan mereka.

Pertanyaan yang menggelitik benak saya, sebenarnya Tradisi “Monunjulo” ini nomenklaturnya diciptakan oleh siapa, dan tradisi ini dimulai sejak kapan. Apakah ada dalam literatur sejarah Kaidipang Besar yang membicarakan tentang hal ini. Jadi bukan menyoal penyalaan lampunya, tapi status hukum adatnya.

Kalau tradisi Monunjulo ini adalah warisan budaya Kaidipang Besar, maka pastilah dalam prosesi pemasangannya diawali atau disertai dengan ritual adat Kaidipang Besar, minimal ada penyampaian kata-kata adat. Tapi hari ini kita tidak melihat itu, yang ada justru upaya sukarela tanpa ikatan adat. Fakta ini menjadi ukuran bahwa tradisi monunjulo ini bukan warisan adat Kaidipang Besar, karena tak ada sama sekali ritual adat disitu. Tak mungkinlah para pendahulu mewariskan tradisi tanpa disertai perangkat peradatan.

Tulisan ini bukanlah bermaksud mengguggat tradisi monunjulo lambu di 27 Ramadan, karena tidak ada yang perlu digugat, dan tradisi ini tidak ada unsur negatifnya. Malah bnyak nilai positifnya, salahsatunya menerangi depan rumah.

Hanya saja ini perlu dijelaskan pada masyarakat tentang hitam putih dari tradisi ini, agar kita tak “berritual” di wilayah abu-abu. Harus jelas posisinya dalam adat, agar generasi muda kita faham, mana yang budaya asli, asimilasi, akulturasi dan kreasi.

Dalam adat Kaidipang Besar, sudah jelas hierarkis peradatan bahwa Kepala Adat melekat pada penguasa Wilayah, sehingga otoritas untuk menjelaskan segala bentuk peradatan adalah Pemerintah.
Otomatis pemerintah harus memberi batasan garis demarkasi yang jelas, Yang mana Adat warisan pendahulu, dan yang mana tradisi daerah tetangga yang dijiplak.

Seingat saya, bahwa dulu kalau memasang lampu ini, jumlah mata lampu pada setiap rumah harus sesuai dengan jumlah jiwa pada rumah tersebut.

Ada sebuah kekhawatiran, jika setiap tradisi kiriman dari daerah lain terus menerus dilakukan dan mengalami modifikasi bahkan bertambah setiap saat, maka akan semakin banyak perbendaharaan tradisi daerah kita dan akan sulit bagi kita mengklasifikasi mana yang asli adat kita dan yang mana tiruan.

Sekali lagi, bahwa substansi dari tulisan ini bukan bermaksud menolak tradisi dari luar, karena yang namanya tradisi masyarakat daerah-daerah di Nusantara itu punya nilai luhur, maka kita tak perlu takut dengan akulturasi atau percampuran budaya itu.

Hanya saja harus ada batasan jelas yang harus diketahui khalayak, mana tradisi asli kita dan mana yang hasil akulturasi budaya. Kalau diperkenankan, saya meminjam istilah dari Ushul Fiqhi, tentang Asal Hukum (Fardu, Sunnah, Mubah) untuk dipakai di istilah adat ini, maka sebenarnya tradisi Monunjulo ini masuk pada kategori mana.

Sebelum ada penjelasan baku tentang status ritual ini, apakah ini budaya asli, akulturasi, asimilasi atau kreasi, maka untuk sementara kita memasang lampu didepan rumah pada tanggal 27 Ramadan adalah untuk menerangi depan rumah kita masing-masing dan untuk menambah semarak bulan suci Ramadan.

Dan ini sangat bagus.

(Ridwan)

Comments (0)
Add Comment