Islam-Budaya: Melihat Nalar Beragama di Bolaang Mongondow Utara (1)

Oeh: Muh. Ersad Mamonto

Pengurus LESBUMI NU Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Alumni Pondok Pesantren Al Khairaat Bintana

BARU-BARU ini saya tersentak ketika membuka notifikasi WA dihebohkan dengan seorang Ustad di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) yang mengomentari perihal beberapa penamaan kampung.

Menurutnya penamaan kampung Binjeita, Bohabak dan Bintauna berasal dari bahasa Arab, dan yang memberikan nama tersebut adalah perantau dari Hadramaut. Binjeita بن جدة-(anaknya nenek), Bohabak-با حبك (kampung cinta atau kesayangan) dan Bintauna-بنت عمة (bibi yang jelita).

Di akhir pernyataannya lewat status FB tersebut, sang Usttad menyebutkan hal ini bukan cocokolgi.

Hal ini merupakan persoalan pelik mengenai Islam dan budaya. Sejauh ini sejarah islamisasi selalu diwarnai dengan penghormatan para penyebar Islam di Nusantara dengan cara tidak menendang budaya.

Hanya belakangan ini saja beberapa orang yang keliru melihat proses islamisasi tersebut, sehingga menimbulkan kesan TBC (Tahayul, Bid’ah & Churafat) sehingga muncul slogan “Kembali ke Al-Qur’an & Sunnah”—seolah-olah sejak dulu Islam di Bolmut menapak tidak pada Al-Qur’an & Hadits.

Kemunculan slogan seperti ini menimbulkan bias arabisasi, sebab memandang Islam dan budaya Arab adalah ajaran tunggal dalam Tauhid. Padahal spektrum Islam dan budaya Arab adalah dua hal yang terpisah tapi saling merangkul. Hubungannya tidak ajeg atau konstan, keduanya saling memberikan nilai-nilai kebaikan. Ketika budaya Arab dilihat sebagai inti ajaran dari Islam (ushuluddin), maka menimbulkan pandangan budaya di luar Arab adalah tidak Islam.

Bentuk bias lebih jelasnya, seperti komentar Ustad di atas mengenai penamaan kampung di Bolmut. Sang Ustad menerka lewat informasi seadanya dan meyakini bahwa nama-nama kampung tersebut berasal dari bahasa Arab.

Komentar mengenai Ustad tersebut dapat dijawab dalam catatan yang sederhana.Tahun berapakah nama-nama tersebut ada, dan para perantau Hadramaut datang di Bolmut? Atau jika benar datang sebelum nama kampung tersebut dicetuskan benarkah aspek linguistiknya ‘murni’ berasal dari bahasa Arab?.

Kenyataannya hal tersebut merupakan spekulasi semata. Tidak ada sumber jelas mengenai orang Arab yang menamakan kampung tersebut. Dalam Catatan H.T Usup, Binjeita dan Bohabak adalah desa yang dibuka berbarengan dengan beberapa desa yang tebentang dari Tote sampai Biontong, dalam rentan waktu 1883-1906.

Sedangkan nama Bintauna sudah ada sebelum Bintauna sebagai Kerajaan pada abad ke 16 lahir. Hikayat Bintauna menyebutkan, dalam pencarian tempat tinggal—Bintauna sejak dulu dikenal dengan masyarakat yang nomaden—melihat ke langit, sehingga di lihat Bintang yang paling terang dan menyebutkan vinta una-una atau Bintang yang di depan, akhirnya Bintang yang di lihat tersebut merupakan patokan untuk tempat yang di tuju.

Jadi, Bintauna dulu tidak disebutkan dengan “Bintauna” yang menggunakan huruf (B) tapi dengan (V). Pergantian hurf untuk menyebut Vintauna menjadi Bintauna karena trans-literasi kolonial. Tentu pergantian huruf tersebut juga berpengaruh terhadap bunyi yang dihasilkan.

Maka tidaklah benar bahwa penyebutan Bintauna berasal dari bahasa Arab dengan huruf yang serupa dengan trans-literasi kolonial B=ب.

Teror Kolonialisme (Tafsir) Agama Kini

Boleh jadi Sang Ustad tersebut memandang terhalang dinding besar, ke dinamika Islam Bolmut. Agama merupakan pencarian terhadap makna dari teks, yang melahirkan beragam tafsir. Sejak Edward Said menuliskan Orientalism, beberapa komentarnya mengenai kolonialisme yang dilancarkan melalui kuasa pengetahuan, dunia berguncang hebat.

Selama ini terkaan kita penjajahan hanya bisa masuk lewat perang fisik berubah drastis. Homi Bhaba dalam narasinya mengenai post-kolonial, mengisyaratkan untuk melanjutkan Said. Bagaimana cara kerja kolonialisme setelah penjajahan fisik.

Penjajahan fisik dan non fisik intinya adalah mengahncurkan kepercayaan diri sebagai bangsa mandiri, bangsa yang berbudaya, bangsa yang punya sejarah sendiri yang gemilang, menjadi bangsa yang ‘siap grak’ atau penakut (tidak percaya diri) terhadap jati dirinya, sehingga mudah untuk di jajah. Tafsir agama yang puritan merupakan salah satu pintu masuk untuk penjajahan non-fisik.

Seseorang bisa saja tidak percaya diri dengan budaya dan sejarahnya, karena itu dianggap TBC. Bisa di ilustrasikan seperti orang yang bercermin dengan memakai batik, tapi melihat pantulan dalam cermin memakai gamis.

Masalanya bukan pada harus pakai apa ia sebagai muslim, tapi idealitasnya sebagai muslim. Apakah dengan batik mengurangi keislamannya dan dengan gamis menambah keislamannya? Ukuran idealitas seperti ini merupakan cara kolonialisme bermain dalam tataran tafsir agama dan budaya. Layaknya kerja-kerja orientalis yang selalau mencari pintu masuk lewat kuasa pengetahuan dan teknologi mengenai budaya Barat lebih tinggi dari budaya Timur, tafsir agama dengan gaya puritan atau ingin memurnikan ajaran agama punya wajah yang serupa, yaitu budaya Arab-Islam vs budaya Nusantara-Bolmut-Islam.

Tafsir agama yang puritan menendang budaya juga diperlukan untuk percepatan industrialisasi—sebagai bentuk kolonialisme kini—seperti layaknya moderenisme. Keteguhan untuk berpegang pada warisan nenek moyang yang punya hubungan harmonis dengan agama, jika tidak bisa digeser dengan teknologi untuk kepentingan kolonialisme, maka tafsir puritan agama jalan lainnya.

Hal ini bisa dilihat misalnya, kepercayaan untuk melindungi hutan sebagai sumber kehidupan dengan cara mengkeramatkan dan mensakralkan dibuat hancur melalui tuduhan tafsir, bahwa hal tersebut merupakan bentuk TBC, akhirnya dengan dalih ancaman neraka perubahan pandangan terjadi. Jadilah hutan tersebut untuk di eksploitasi.

Dalam ruang ke-Bolmut-an kini, tradisi layaknya jadi penguat seabagai manusia beragama-berbudaya. Wilayah dikotomis antara budaya dan agama harusnya diperbincangkan dengan semangat fastabiqulkhairaat, bukan pada wilayah menerka-nerka. Budaya Bolmut telah berjalan dengan sangat lama dan bersentuhan dengan hal-hal di luarnya yang melahirkan kritik hingga bentuknya kini, yang tidak bertentangan dengan semangat beragama dan juga tidak meninggalkan esensi kebudayaan.

(**)

BolmutIslam-Budaya: Melihat Nalar Beragama di Bolaang Mongondow Utara (1)
Comments (0)
Add Comment