“Jalan Pinang” Dalam Perspektif Historis Luguso dan Tote

Oleh: Ridwan (*)

DETIKSULAWESI.COM, BOLMUT – Sebelum memulai tulisan singkat ini, terlebih dahulu kami sampaikan apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bolmut, atas lahirnya Perda tahun 2016 dan Perbub tahun 2018 tentang penamaan jalan.

Sesuai penamaannya, jalan Desa yang terletak membujur dari Selatan ke Utara desa Tote Kecamatan Bolangitang Barat, Bolmut diberi nama jalan PINANG.

Jalan desa yang dibuka pada tahun 2002 ini dan kemudian diaspal pada tahun 2013 merupakan akses jalan menuju pemukiman penduduk dan tersambung langsung menuju Tanjung Buaya di sebelah Utara Desa (Laut Sulawesi).

Sangat tepat kiranya jika kemudian oleh Pemerintah jalan ini di beri nama JALAN PINANG, karena ada sepenggal warisan sejarah Desa Tote yang memang sesuai dengan penamaan jalan ini.

Dari penuturan beberapa orang-orang tua, sebagaimana tulisan saya pada media detiksulawesi.com , edisi 15 Agustus 2019.

Tote adalah sebuah desa di Kecamatan Bolangitang Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), sebagai bagian secara wilayah dan admnistratif di Bolangitang Barat, maka Desa Tote pun dalam sejarahnya terkait erat dengan Bolangitang Barat.

Dalam catatan Prof. H.T. Usup (alm), ada beberapa perkampungan yang dibuka pada masa pemerintahan Raja Bonji Pontoh, raja ke-VII Bolangitang yang memerintah dari tahun 1883 – 1906.

Pada masa pemerintahan Raja Bonji Pontoh, kerajaan Bolangitang mengalami kemajuaan lagi, dibukalah perkebunan-perkebunan dan kampung-kampung baru seperti Ollot (1903), Paku (1904), dan selanjutnya Tote, Wakat, Nunuka, Bohabak, dan seterusnya.

Pada awalnya, kampung-kampung ini mula-mula sebagai perkebunan saja namun makin lama makin maju dan karena banyaknya orang-orang Bolangitang yang berpindah ke desa-desa menyebabkan terbukalah desa-desa itu dan berkembang terus.

Lalulintas darat yang menghubungkan kampung-kampung itu di buka sekalipun dalam tahap pertama barulah merupakan jalan setapak, jalan kuda ataupun jalan roda pedati.

Masih dalam catatan Prof. H.T. Usup (alm), bahwa selanjutnya di zaman Raja Bonji, Kerajaan Bolangitang di bagi menjadi 3 distrik kecil yang masing-masing di kepalai oleh seorang Marsaoleh atau Ulea,yakni :

1. Vunongo, meliputi Desa Langi seberang sungai Bolangitang sampai di Biontong dan pemerintahan berpusat di bagian timur Bolangitang.

2. Toluaya (Tengah), meliputi desa Sonuo sampai Paku dan pemerintahan berpusat di bagian tengah Bolangitang.

3. Bunoru, meliputi desa Talaga dan Tomoagu dan pemerintahan berpusat di bagian Barat Bolangitang.

Menurut penuturan beberapa orang yang mengetahui persis tentang awal mula Desa Tote, bahwa nama TOTE yang berarti Jembatan ini, dahulunya ada sebuah jembatan penyeberangan di sungai kecil di ujung sebelah Timur Tote.

Jembatan kecil ini terbuat dari Kayu, dan setiap orang yang melintasi tempat ini dari arah Timur ke Bolangitang selalu menyebut kata kerja “Tumote” atau “Moni Tototea”, yang artinya “Meniti Jembatan” atau “Atau melewati Titian”, dari kata kerja, Tumote dan Moni Tototea inilah yang kemudian disingkat dengan kata Dasar TOTE.

Jembatan kayu yang disebutkan di atas terletak di atas sungai kecil yang kini telah menjadi Jembatan di sebelah Timur Desa Tote, sekitar 100 meter dari depan jalan kecil menuju Tanjung Haji.

Ada juga cerita yang penulis dapatkan bahwa yang disebut Kampung Tote ini awalnya terletak di Kompleks jembatan yang dipaparkan di atas (sebelah Timur).

Adapun bagian kampung yang saat ini awalnya disebut Kampung Luguso (Pinang), karena dulunya yang menghuni tempat ini terdiri dari dua etnis, Buol dan Gorontalo

Etnis Buol menempati tempat yang disebut Tote dan etnis Gorontalo menempati bagian barat Tote yang dahulunya bernama Luguso. Kata Luguso ini menurut orang-orang tua zaman dulu berasal dari nama orang Gorontalo yang datang ke tempat ini, namanya Luhuto (dalam bahasa Gorontalo artinya Pinang) dan menjadi Bahasa Bolangitang “Luguso” yang juga artinya adalah Pinang.

Kedatangan etnis lain ke Bolangitang juga tereportase dalam catatan Prof. H.T. Usup (alm), bahwa sejak zaman kerajaan Mokapog telah ada beberapa etnis dari Gorontalo, Gowa, Makassar, Mongondow, Teluk Tomini, Buol dan Toli-Toli

Menurut Prof. H.T. Usup (alm) bahwa para pendatang ini umumnya tidak kembali lagi ke negeri asalnya tetapi telah bercampur gaul dan kawin- kawin dengan anak negeri Mokapog dan turun temurun sampai sekarang.

Sebagai bukti banyak nama rakyat Mokapog yang mewarisi nama daerah asalnya ( leluhurnya ), seperti : Mokoapa, Panon (Ponamon ) , Nusi ( Huntuk ), Pulubau dan Hilala ( Gorontalo ) Gurubara, Talenga dan Baguna (Teluk Tomini), Bolulipu kalangkangan dan 40 pengawal (dari Tontoli ) yang menurut keterangan keturunan ini mendiami pulau Livuto, Saleo dan Nunuka, Mayor Lawado, Daeng Lapulo, Saragadin dan Lantiuna (Goa-Makasar ) yang datang di masa pemerintahan Raja Tumipulangga (Raja Kerajaan Goa pendiri Benteng Ujung Pandang tahun 1545) Cucu Raja Upuh Tandre Burung Oli (baca, Sejarah Kaidipang Besar, Prof. H.T. Usup, terbitan II, 1978).

Itulah sebabnya, Kampung Tote juga tak terlepas dari bagian sejarah ini, sebagai fakta bahwa tempat ini didiami oleh 2 etnis yaitu Gorontalo dan Buol, juga tentunya masyarakat asli Mokapog (Bolangitang).

Nama Luguso, lama kelamaan menjadi hilang dan yang menjadi lazim disebut adalah TOTE, sehingga dalam penamaan resmi sebagai sebuah Desa menjadi Desa Tote.

Namun jejak nama LUGUSO sebagai nama awal dapat kita dengar hari ini. Lautan Sulawesi yang berhadapan langsung dengan Desa Tote oleh para nelayan disebut sebagai “Pasigu Luguso” atau pulau karang di dasar laut yang berada di Luguso.

Bahkan, konon nama Tanjung Haji yang dikenal saat ini dulunya sering disebut sebagai “Haito Luguso” atau Tanjung Pinang. (Haito : Pinang).

Maka sudah sangat tepat jika dalam penamaan jalan ini Jalan Pinang, karena masih terkait dalam aspek historis.

Sebagai informasi bahwa Sangadi (Kepala Desa) pertama di Tote bernama Dambea yang berasal dari etnis Buol, dan selanjutnya dari masa ke masa, Tote dipimpin oleh beberapa tokoh desa yang bermarga Timumu, Manote, Ponamon, Mokoolang dan Datukramat.

Penulis mempersilahkan kepada pembaca tulisan ini agar dapat mengkritik bila terdapat kekeliruan dalam penulisan angka tahun, nama orang ataupun fakta sejarah. Kritik dapat disampaikan langsung pada penulis.

*) Penulis adalah Wartawan Muda pada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bolmut.

Comments (0)
Add Comment