Investasi Miras di DKI Jakarta

0

DETIKSULAWESI.COM,JAKARTA – Presiden Jokowi meneken regulasi turunan UU Cipta Kerja yang membuka peluang investasi minuman keras (miras).

Dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, investasi miras diizinkan di 4 provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.

Seperti dikutip dari Kumparan edisi Selasa (02/03/2021), dari lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021, ada 46 bidang usaha yang masuk kategori terbuka dengan persyaratan khusus.

Tiga di antaranya yakni Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol, Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol: Anggur, dan Industri Minuman Mengandung Malt.

Masing-masing tertera di urutan nomor 31, 32, dan 33, lampiran Perpres yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Februari 2021 tersebut. Ada pun persyaratan khusus yang dimaksud untuk industri minuman keras, yakni untuk investasi baru hanya dapat dilakukan di 4 provinsi.

“Untuk penanaman modal baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat,” demikian dinyatakan dalam lampiran Perpres tersebut.

Jauh sebelum Presiden Jokowi memberi lampu hijau untuk izin investasi minuman keras (miras) di 4 provinsi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah lebih dulu memiliki perusahaan dan pabrik bir. Kepemilikan tersebut tercatat di dalam perusahaan PT Delta Djakarta Tbk (DLTA).

Pemprov DKI Jakarta memegang saham hingga 26,25 persen. Dikutip dari situs Delta Djakarta, Perseroan memiliki pabrik bir di Bekasi Jawa Barat. Pabrik tersebut memproduksi berbagai jenis brand Anker Beer, Anker Lychee, Anker Stout, Carlsberg, Kuda Putih, San Miguel Light, San Miguel Pale Pilsen, dan San Miguel Cerveza Negra.

Secara kinerja keuangan, Delta Djakarta memiliki catatan positif. Namun, perusahaan bir ini mengalami penurunan pendapatan selama pandemi.

Pada kuartal III tahun 2020, penjualan Perseroan tercatat Rp 349,07 miliar atau turun 42,36 persen. Hal serupa juga terjadi pada laba bersih, yakni dari Rp 220,92 miliar di kuartal III 2019 menjadi Rp 70,68 miliar di kuartal III 2020.

Demikian juga dengan pergerakan harga sahamnya. Per hari ini, saham DLTA berada di level Rp 3.820 per lembar. Secara year to date, harga saham DLTA menurun 41,23 persen. Sementara dalam enam bulan terakhir, harga saham DLTA juga melemah 14,92 persen.

Secara keseluruhan pergerakan harga saham DLTA memang mengalami tren menurun sejak pertengahan 2019. Saat itu saham DLTA sempat menyentuh level Rp 7.400 per saham kemudian terus menurun hingga hari ini.
Pada 2018 lalu, muncul wacana Pemprov DKI Jakarta ingin melepas saham DLTA. Hal ini diungkapkan Sandiaga Uno yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Namun hingga Sandi sudah tak lagi menjabat di posisi wakil gubernur, wacana Pemprov DKI Jakarta melepas kepemilikan sahamnya di Delta Djakarta tak kunjung terealisasi karena mendapat penolakan dari DPRD DKI Jakarta.

Saat ini, Pemprov DKI Jakarta menguasai 26,25 persen atau setara 210.200.700 lembar saham di pabrik bir Delta Djakarta. Selagi masih menjadi pemegang saham.

Pemprov DKI Jakarta setiap tahunnya menerima dividen atau pemasukan dari Delta Djakarta.

Mengutip laporan keuangan Delta Djakarta Tahun 2019, Pemprov DKI menerima setoran dividen Rp 100,46 miliar yang dihasilkan dari kinerja keuangan 2018.

Investasi Miras Ditolak PBNU dan MUI
Adapun rencana investasi miras tersebut ditolak oleh berbagai pihak. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menyatakan menolak Perpres nomor 10 tahun 2021 tentang investasi miras.

Said mengatakan dalam Al-Quran telah jelas mengharamkan miras karena menimbulkan banyak mudarat.
“Kita sangat tidak setuju dengan Perpres terkait investasi miras. Dalam Al-Quran dinyatakan وَلَاتُلْقُوابِأَيْدِيكُمْإِلَىالتَّهْلُكَةِ(Dan jangan lah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan),” kata Said.

Said Aqil menuturkan, seharusnya kebijakan pemerintah mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat sebagaimana kaidah fiqih ‘Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah’ atau kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat.

“Karena agama telah tegas melarang, maka harusnya kebijakan pemerintah itu menekan konsumsi minuman beralkohol, bukan malah didorong untuk naik,” tutur Said.

Oleh karena itu Said mengatakan, melihat bahaya sebagai dampak negatif yang jelas dari miras, sudah seharusnya dicegah dan tidak boleh ditoleransi. Said lalu memaparkan Kaidah fikih yang berbunyi :

Rela terhadap sesuatu artinya rela terhadap hal-hal yang keluar dari sesuatu tersebut.
“Kalau kita rela terhadap rencana investasi miras ini, maka jangan salahkan kalau nanti bangsa kita rusak,” ujar Said.

Senada, MUI Jabar mendukung MUI pusat yang meminta pemerintah pusat mencabut Perpres investasi minuman keras. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris MUI Jabar, Rafani Achyar.

“Kami mendukung penuh keputusan MUI Pusat. Perpres itu harus dicabut,” kata Rafani kepada wartawan, Senin (1/3).

“Perpres ini bakal mencipta problem besar, degradasi moral, kemaksiatan, perjudian, dan perbuatan maksiat lainnya,” tambah dia.

Rafani menilai, keputusan tersebut tak patut dikeluarkan di tengah pandemi COVID-19 meski mendatangkan keuntungan. Sebab bertentangan dengan kaidah agama.
Meskipun hanya diterapkan di empat provinsi, dia menilai Jabar bakal terkena dampak karena merupakan wilayah dengan penduduk terbesar di Indonesia.

“Penduduk Indonesia ini 25 persennya ada di Jabar, ini tentu jadi incaran investor (miras) apalagi secara demografis, Jabar ini sangat dekat dengan Jakarta. Jabar bakal menjadi daerah pertama yang terdampak perpres ini. Maka dari itu, kebijakan harus dicabut,” ucapnya.

(Sumber : Kumparan, edisi 02/03/2021)

(ridwan)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.