Permesta di Bolangitang

0
Penulis di depan Tugu Permesta
Penulis di depan Tugu Permesta

 

Oleh : Ridwan L *)

DETIKSULAWESI.COM,BOLMUT – Jika kita melewati Desa Bolangitang, Kecamatan Bolangitang Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), tepatnya di Pertigaan ke arah Padang, depan Koramil Bolangitang, di situ ada sebuah tugu yang sampai saat ini masih berdiri kokoh.

Penasaran dengan keberadaan tugu tersebut, memancing rasa ingin tahu, sehingga mendekat dan membaca, ternyata tertulis angka 19-4-1959.

Ada peristiwa apa yang sebenarnya terjadi di tahun itu di Bolangitang, sepertinya, kita generasi muda, banyak yang tak tahu tentang hal ini, atau memang tidak mau tahu.

Beberapa tahun silam, saya menelusuri hal ini, mencari-cari literatur tentang ini, satu-satunya saya temukan pada buku Sejarah Kaidipang dan Bolangitang, catatan Prof. Dr. Hi. H.T. Usup (Almarhum) bahwa ternyata ini adalah Tugu Peringatan Aman Permesta dari pergolakan Permesta di Bolangitang, dan angka yang tertulis 19-4-1959 adalah tanggal pembebasan wilayah Bolangitang oleh Tentara Pusat dari Tentara Permesta.

Dalam Sejarah Nasional Indonesia, maka akan kita dapati fakta sejarah tentang munculnya gerakan-gerakan separatis pasca Proklamasi Kemerdekaan.

Gerakan-gerakan separatis yang membuat gerah pemerintah Pusat dikala itu karena harus menguras energi Militer untuk menumpas pemborontakan yang merongrong keutuhan NKRI.

Salah satu gerakan Separatis yang muncul adalah Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA) yang dideklarasikan di Makassar sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi dikala itu. Gerakan Permesta dideklarasikan oleh Letkol Ventje Sumual pada tanggal 2 Maret 1957.

Pada saat dideklarasikan, gerakan ini didukung oleh Masyarakat Makassar namun lambat laun masyarakat mulai memusuhi permesta.

Mencermati kondisi masyarakat yang mulai tidak suka dengan Permesta, maka setahun kemudian yaitu pada Tahun 1958 Markas Besar Permesta dipindahkan ke Manado.

Pada saat itu Pemerintah Pusat mengambil tindakan tegas dengan operasi Militer menumpas gerakan Permesta.

Tulisan ini bukanlah bermaksud membedah tentang sejarah permesta secara paripurna, karena persoalan tentang Permesta sampai hari ini masih terdapat perbedaan persepsi tentang konsep kejuangan mereka memisahkan diri dari Pemerintah Pusat.

Tulisan ini hanyalah mengambil sedikit torehan sejarah di wilayah Bolangitang. Dimana ketika itu Bolangitang yang merupakan wilayah Bolaang Mongondow dan ada di Pulau Sulawesi sebagai basis Permesta maka suka atau tidak suka, Bolangitang harus ikut dalam pusaran Sejarah ini.

Tidak hanya sekedar ikut dalam riak kecil dari gelombang besar, namun berdasarkan beberapa literatur tertulis dan penuturan lisan bahwa wilayah Bolangitang ikut bergolak ketika itu.
Tugu yang ada di Desa Bolangitang yang sampai saat ini berdiri kokoh, menjadi penanda peristiwa masa itu.

Tentunya bukan tanpa sebab khusus jika ditempat ini harus dibuatkan Tugu peringatan seperti ini, ada momentum sejarah yang harus dikenang oleh generasi kemudian. Ada banyak hal yang terjadi di Bolangitang dikala Permesta.

Banyak harta benda milik rakyat bahkan nyawa yang melayang dalam peristiwa ini. Dimana Permesta yang menggunakan taktik bumi hangus menjelang kekalahan mereka atas pemerintah Pusat.

Banyak rumah-rumah penduduk yang dibakar. Bahkan dalam sejarah Bolaang Mongondow, Taktik Bumihangus oleh Permesta banyak menimbulkan korban Materiil dan korban jiwa bagi rakyat Boloaang Mongondow, bahkan banyak situs-situs sejarah dan budaya yang dibumihanguskan di Bolang Mongondow.

Penulis kemudian mencari literatur tentang Permesta di wilayah Bolangitang. Dalam catatan Prof. Dr. Hi. H.T. Usup (alm) dalam buku Sejarah Kaidipang Besar, Terbitan II 1979, yang kami kutip sesuai aslinya :

Tahun 1957 – 1959 terjadilah pergolakan daerah PRRI/Permesta.
Kaidipang dan Bolangitang , salah satu bagian dari daerah Sulawesi utara turut terlibat langsung dalam pergolakan daerah itu.

Di masa Permesta, Kaidipang dan Bolangitan adalah tempat kedudukan Wehr Kreise V (WK V) dengan komandannya kapten Somba berkedudukan di Jambusarang, Bolangitang, dan basis Batalyon “S” pimpinan Kapten Wim Siger dengan pusat pertahanannya di Atinggola.

Beberapa pemuda dan tokoh-tokoh terkemuka terjun dalam arus pergolakan itu .

Pada masa itu putuslah hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta sehingga khusus di bidang perdagangan timbullah pembarteran secara besar-besaran dari dan ke Tawao (Philipina Selatan).

Keadaan itu tidak dibiarkan berlarut-larut oleh pemerintah pusat di Jakarta, sehingga usaha mengembalikan kewibawaan pemerintah pusat dijalankan, selangkah demi selangkah wilayah Permesta direbut.

Segera bobol pertahanan di Atinggola yang menyebabkan Batalyon “C” dan Batalyon 512 Brawijaya di bawah pimpinan Mayor Agus Prasmono dan Kapten Akub Zaenal (Bekas Gubernur provinsi Irian Jaya dan bekas panglima Kodam Cendrawasih), dengan mudah memasuki wilayah Kaidipang dan Bolangitang tanpa perlawanan yang berarti.

Perlawanan beberapa menit saja di Saleo tidaklah berarti sama sekali bagi Sersan Mayor Mulyadi dari Batalyon C Remaja Brawijaya.

Taktik bumi hangus telah terjadi yang menyebabkan kerugian besar, kecuali masjid dan gereja maka seluruh rumah rakyat di beberapa desa di Bolangitang, di Mokoditek, Nunuka, Saleo, Bohabak, Binjeta dan Biontong, hangus terbakar dan beberapa jembatan lain yang terpenting yaitu jembatan Langi yang menjadi kebanggaan rakyat Bolangitang dibakar dan runtuh pada 16 April 1959.

Demikian pula jembatan lain seperti Tuntung, Keakar, Huvuo, Bohabak dan Biontong semuanya putus.

Besoknya tanggal 17 April 1959 Kaidipang dan Bolangitang seluruhnya berhasil dibebaskan dari tangan permesta.
Demikian catatan Prof. H.T. Usup (alm).
===

Salah satu peristiwa yang terjadi di Bolangitang pada saat Permesta adalah saat menjelang kekalahan mereka, Permesta sempat melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar Jembatan Pontoh yang ada di perbatasan antara Desa Langi dan Sonuo.

Pembakaran Jembatan ini terjadi pada tanggal 16 April 1959, informasi ini saya dapatkan dari hasil wawancara saya dengan mendiang H.D.H. Pontoh (Abo Doti) pada Bulan April Tahun 2018.

Penulis saat wawancara dengan mendiang Abo H.D.H. Pontoh, pada bulan April 2018
Penulis saat wawancara dengan mendiang Abo H.D.H. Pontoh, pada bulan April 2018

Menurut penuturan mendiang Abo Doti, atas perintah Tentara Permesta, Kopra diangkut dengan pedati dan dikumpulkan di atas jembatan dan dibakar bersama dengan jembatan tersebut.

Jembatan yang pernah menjadi kebanggan Masyarakat Bolangitang ketika itu, dibangun pada tahun 1930 atas prakarsa dari dari paduka Ram Suit Pontoh (raja Kaidipang Besar) dimana beliau yang memimpin langsung pekerjaan ini.

Menurut beliau, bahwa perkakas jembatan ini dibuat dari Kayu Besi (bahasa lokal : Yipilo) dan Kayu Hitam (bahasa lokal : Manuayomo), sehingga daya tahannya diperkiraan sampai ratusan Tahun.
Tapi sayang, Jembatan ini tak lagi berbekas kini, sebagai ulah dari Permesta.

Dan dalam catatan Prof. H. T. Usup, bahwa jembatan sepanjang 52 Meter ini arsiteknya adalah seorang yang berkebangsaan Belanda bernama Ir. Tergaast.

Masih menurut mendiang H.D.H. Pontoh, bahwa sebelum membakar jembatan ini, Permesta sempat mengancam akan membakar Komalig (Istana) Raja di Boroko, namun atas upaya dari Raja R.S. Pontoh, Komalig selamat dari bumihangus dan bangunan bersejarah ini dapat kita saksikan sampai hari ini.

Kegagalan Permesta membakar Komalig, mereka lampiaskan di Jembatan di Langi.
Kalau kita baca Sejarah Bolaang Mongondow, Komalig juga dibakar oleh tentara Permesta.

Tidak hanya itu, menurut cerita orang-orang yang hidup di kala itu, banyak kisah-kisah tentang Permesta yang menebar teror dan ketakutan terhadap penduduk.

*)Penulis adalah Wartawan Jenjang Muda, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bolmut

Leave A Reply

Your email address will not be published.