Totopo, Sebuah Kearifan Kuno Untuk Pelestarian Alam

0

 

DETIKSULAWESI.COM, BOLMUT – Di kalangan kaum angkatan Milenial 4.0 (Entah mengerti atau tidak soal uraian angka ini, yang penting bunyinya keren), mungkin cerita ini dianggap hanyalah sisa peradaban komunal primitif yang usang dan tak perlu dibahas lagi.

Tapi saya harus menceritakan ini, sebuah warisn kearifan kuno untuk pelestarian alam semesta.

Jadi begini, ketika merambah tempat yang bakalan dijadikan ladang dan bakalan pemukiman, masyarakat agrikultur di wilayah Bolangitang (Bolmut) zaman dahulu akan memastikan terlebih dahulu sumber air sekitar dan memastikan juga debet ketersediaan dan kebersihannya.

Jejaknya sedikit dapat kita saksikan saat ini, hampir setiap kawasan lokasi kebun dan ladang hampir dipastikan terdapat sumber air, baik itu sungai, sumur buatan dan sumur alam yang disebut “Totopo”.

Pada awalnya, totopo bukanlah sumur buatan, ini adalah mata air di pegunungan yang terkumpul membentuk seperti sumur kecil. Oleh penduduk yang menemukan ini, genangan kecil mata air ini disempurnakan menjadi bentuk sumur, hanya dengan menggunakan batu, bahkan ada juga totopo yang terbentuk oleh susunan bebatuan.

Totopo airnya sangat jernih dan sejuk, cadangan debet air terjaga sepanjang musim. Di musim kemarau panjang pun airnya tetap dan malah makin jernih (motino).

Walaupun ada beberapa totopo yang terletak dekat sungai, namun permukaan airnya tetaplah lebih tinggi dari permukaan air sungai, dan tak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya debet air sungai, totopo tetaplah menyimpan cadangan airnya sekalipun sungai di dekatnya kering kerontang akibat ulah kemarau.

Hal yang paling identik dengan totopo adalah pepohonan dan bebatuan yang ada disekitarnya.

Kami yang sejak kecil sudah punya “interaksi” langsung dengan keberadaan totopo ini, sejak kecil ikut orang tua ke kebun sehingga tak terlepas dari pengalaman dan amatan tentang totopo ini.

Sebagai contoh kecil, salah satu totopo yang kami sering datangi adalah yang berada di lokasi perkebunan Dupola, sekitar 1 km ke arah selatan desa Tote. Sejak dulu ditempat itu sering di suruh oleh orang tua untuk mengambil air minum di totopo ini.

Tambahan : Menurut cerita orang-orang tua bahwa perkebunan Dupola ini mulai dibuka pada tahun 1930-an, maka pastilah usia totopo lebih tua lagi keberadaannya, hanya belum “disempurnakan”.

Bukti dari kebersihan air totopo ini, acapkali kami minum air langsung tanpa dimasak. Entahlah karena tubuh sudah terbiasa atau mungkin karena higienis airnya (ini belum diteliti).

Satu hal yang penulis alami tentang totopo adalah, orang-orang tua sering mewanti-wanti untuk tidak merusak pohon sekitarnya, kata mereka nanti penunggunya murka, kalau penunggunya murka maka bisa saja mereka pindah dan airnya akan kering, dan fatal lagi akan kena kualat. sungguh masa kecil kami sangat meyakini hal ini.

Entah benar atau tidak cerita mistis tentang keberadaan penunggu totopo ini, yang jelas kami pun tak berani menebangi pohon sekitar totopo, hingga tetap lestari.

Ternyata, rasionalnya tentang pepohonan yang tak bisa ditebang ini adalah sebuah konsep tentang pelestarian alam, teorinya bahwa sumber mata air hanya akan terjaga jika pohon sekitar totopo tetap lestari sehingga totopo pun mata airnya terjaga dengan baik.

Hanya saja, metode pelestariannya dihubungkan dengan narasi mistis, padahal sesungguhnya logis. Begitulah cara kuno dalam menjaga semesta. Hakikatnya, sayangi semesta agar kita aman sentosa. Begitulah kecerdasan orang-orang tua kita zaman dulu.

Kini Keberadaan totopo tetaplah ada, totopo yang ada di lokasi perkebunan Dupola yang saya ceritakan di atas bukanlah satu-satunya totopo di sini, ada beberapa, hampir tiap lokasi ada. Keberadaanya tergantung hijaunya alam sekitar.

Akankah tradisi kuno tentang menjaga totopo ini akan terus lestari dan apakah totopo akan lenyap ditelan kemajuan pengolahan dan pemanfaatan air untuk kehidupan.

(ridwan)

Leave A Reply

Your email address will not be published.